Kamis, 16 Januari 2014

Pemanfaatan Telematika Pada Masyarakat Indonesia

Tulisan selanjutnya bermaksud memberikan penjelasan ataupun pandangan tentang perlunya Pemerintah memberikan perhatian khusus dalam menangani bidang telematika, ditinjau dari isu-isu maupun permasalahan penting yang muncul di bidang telematika ini.

1. Teknologi Telekomunikasi sebagai infrastruktur pembangunan dan sebagai komoditas?
Tidak dapat dipungkiri bahwa seperti halnya infrastruktur transportasi, jalan, dan listrik, teknologi telematika yang merupakan konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran memungkinkan terlaksananya aktivitas perekonomian dan sosial kemasyarakatan dengan lebih baik. Meski kontribusi sektor telematika dalam Pendapatan Nasional belum cukup signifikan, hanya sebesar 5.1% utuk tahun 2000 dan 5.8% untuk tahun 2001 namun dengan tersedianya infrastruktur dan layanan telekomunikasi dan informasi, sesungguhnya membantu aktivitas perekonomian, pendidikan, pemerintahan dan aktivitas di sektor lain untuk dapat lebih cepat berputar, lebih efisien berproses dan pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan di sektor lain selain telekomunikasi dan informasi.
Salah satu contoh dari dampak langsung pertumbuhan industri telekomunikasi dan informasi di Indonesia terdapat di majalah Warta Ekonomi edisi Maret 2001 yang mencatat ada sedikitnya  900 perusahaan dotcom di Indonesia pada saatbooming bisnis e-commerce. Jika rata – rata setiap perusahaan menyerap 50 tenaga kerja ahli di bidang telematika, maka 45.000 tenaga kerja telah terserap dalam industri dotcom di Indonesia. Di bidang penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, serta penyedia layanan Teknologi Informasi (TI), diperkirakan tidak kurang dari satu juta tenaga kerja terserap di sektor ini. Sayangnya, menyusul surutnya bisnis e-commerce dan kurangnya dukungan infrastruktur informasi di Indonesia menjadikan banyak perusahaan dotcom Indonesia kurang berhasil dibandingkan India atau negara lain.
Masalah infrastruktur telekomunikasi dan informasi akan semakin mudah dipahami apabila kita melihat wilayah Indonesia bagian timur yang dari sisi kondisi geografisnya cukup sulit untuk dijangkau dan mengakibatkan pembangunannya selalu tertinggal dari wilayah Indonesia lainnya. Dengan adanya teknologi telematika aliran informasi dapat diterima oleh penduduk di kawasan Indonesia timur pada saat yang bersamaan dengan penduduk di daerah lainnya, sehingga tidak terjadi masalah kesenjangan informasi yang akan berakibat pada kurang kompetitifnya daerah kawasan Indonesia timur. Demikian juga dalam hal pendidikan, dengan adanya teknologi telematika, hambatan untuk memperoleh pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar hingga tingkat tinggi dapat diminimalisir melalui tele-education. Perdagangan dapat dipercepat transaksinya dan perhitungan bisnis menjadi lebih akurat melalui e-commerce. Selanjutnya diharapkan pertumbuhan pembangunan akan terjadi dengan memberdayakan potensi daerah kawasan Indonesia timur itu sendiri.
Pembangunan sektor telekomunikasi diyakini akan menarik berkembangnya sektor – sektor lain, sebagaimana diyakini oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang secara konsisten menyatakan bahwa penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti kebenarannya di negara – negara Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara – negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya yang telah memberi perhatian besar pada sektor telekomunikasi, sehingga selain jumlah pengguna telepon (teledensity) meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Teknologi Telematika  sesungguhnya merupakan bagian dari infrastruktur pembangunan.
Akibat arus globalisasi ekonomi dan kondisi di banyak negara infrastruktur telematikanya telah tersedia dalam jumlah yang cukup banyak, maka oleh lingkungan internasional, teknologi telematika khususnya telekomunikasi telah dianggap sebagai komoditas, dan oleh karenanya dalam aktivitas transaksinya selalu menggunakan perhitungan bisnis yang berorientasi profit. Indonesia yang juga tergabung dalam organisasi WTO, tidak terkecualikan dalam lingkungan global ini. Saat ini dapat dikatakan hampir tidak ada perusahaan-perusahaan penyedia jaringan dan layanan telekomunikasi di Indonesia yang tidak berorientasi profit. Pemerintah sendiri sudah sejak beberapa tahun terakhir tidak pernah lagi mengalokasikan dananya untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. Tugas pembangunan infrastruktur telekomunikasi dibebankan kepada swasta atau BUMN. Dari penjelasan ini, maka infrastruktur telekomunikasi dan informasi telah menjadi komoditas. Dengan memperlakukan infrastruktur telekomunikasi dan informasi sebagai komoditas, diharapkan pemerintah tidak perlu terlalu jauh mengatur kompetisi dalam penyediaan komoditas, dan mulai menyerahkan pengaturannya kepada mekanisme pasar.
Namun harus disadari bahwa belum seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati manfaat dari infrastruktur telekomunikasi ini, bahkan Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah infrastruktur telekomunikasi yang rendah di dunia. Meskipun duopoli dalam kompetisi di sektor telekomunikasi telah diberlakukan, tampaknya aturan pasca duopoli masih perlu diperbaiki agar lebih banyak masyarakat yang dapat memperoleh manfaat layanan telematika. Oleh karenanya penanganan masalah telekomunikasi dalam menyikapi lingkungan global dan kebutuhan penyediaan infrastruktur domestik perlu dilakukan secara hati-hati dan terencana mengingat berbagai permasalahan yang terdapat di dalam sektor yang terkonvergensi ini dan kaitannya dengan keterhubungan infrastruktur luar negeri yang cukup kompleks.
Untuk permasalahan penyiaran, perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh penanganan masalah lembaga penyiaran publik, masalah kepemilikan silang dan kepemilikan asing dari lembaga penyiaran swasta dan masalah konten yang memerlukan kejelian dalam menyesuaikannya dengan hal-hal yang berkaitan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
2. Teknologi sebagai sarana pemberantas KKN
Teknologi telematika memungkinkan terjadinya transparansi. Semua informasi dapat disajikan melalui website atau situs internet, agar dapat diakses oleh masyarakat luas. Informasi tentang pengadaan barang, seleksi pemasok, pembelian dan penjualan aset/saham, dan bahkan informasi tentang pejabat, seleksi pejabat, kekayaan, dan lain-lain dapat diletakkan di situs internet untuk diketahui oleh masyarakat luas.
Dengan diterapkannya teknologi telematika dalam upaya pemberantasan KKN, maka diharapkan proses seleksi, pengadaan maupun proses lain yang rawan terhadap kemungkinan KKN dapat dilakukan secara elektronik dan oleh karenanya menurunkan ekonomi biaya tinggi. Selanjutnya diharapkan akan terjadi efisiensi biaya yang berakibat menurunnya biaya-biaya tak terduga yang harus dibayar oleh masyarakat dan dapat meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak.
Oleh karena itu jelas, teknologi telematika memungkinkan terjadinya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat dan dapat menjadi salah satu andalan untuk memberantas KKN secara cepat dan meluas. Tentunya perlu komitmen Pemerintah untuk menggunakan teknologi telematika semaksimal mungkin dalam program pemberantasan KKN ini. Hal ini akan mencakup seluruh aspek pemerintahan mulai dari penanganan proses seleksi pengadaan, seleksi direksi BUMN, seleksi pemilihan operator telekomunikasi, seleksi kepegawaian, penanganan proyek-proyek pemerintah, penanganan data kependudukan, penanganan masalah pajak, penanganan masalah bea dan cukai, dlsb. Pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan teknologi telematika bukanlah hal yang mudah, namun langkah-langkah dasar ke arah itu perlu dilakukan sejak sekarang, dan perlu komitmen penuh Pemerintah karena Indonesia sudah ketinggalan dari negara tetangganya.

3. Teknologi Telematika sebagai sarana kemajuan intelektual bangsa Indonesia
Apabila kita melihat posisi Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di lingkungan ASEAN saja, maka Indonesia saat ini tidak pernah menduduki posisi yang memimpin pada hampir semua sektor pembangunan yang melibatkan teknologi telematika. Singapura, Malaysia, dan Thailand saat ini sudah bersaing untuk menjadi hub perdagangan, transportasi, jaringan telekomunikasi dan teknologi informasi, untuk kawasan Asia. Negara-negara tersebut di atas telah mempunyai visi yang dilengkapi dengan kemampuannya menguasai teknologi telematika, sehingga akhirnya mampu bersaing untuk dapat menguasai kawasan Asia. Malaysia sejak tahun 1990 telah menggodok visi negaranya melalui Malaysia Vision 2020 yang saat ini sudah mulai kelihatan wujudnya. Demikian juga Singapura dan Thailand.
Indonesia seharusnya juga melihat bahwa peluang untuk maju dari negara lain adalah terletak pada keinginannya untuk menguasai teknologi telematika sebagai kunci dari kesuksesannya di bidang lain. Alasan bahwa rakyat Indonesia masih berkutat pada masalah kemiskinan, kelaparan dan lapangan pekerjaan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk menyusun strategi bagi penguasaan teknologi telematika dan penguasaan pasar teknologi telematika pada saat yang bersamaan. Memecahkan masalah-masalah di atas tidak dapat dilakukan secara sekuensial, tapi harus secara paralel dan lateral dengan koordinasi yang sangat intensif antar institusi terkait.
Beberapa program pemberdayaan masyarakat di pedesaan yang menggunakan teknologi telematika akan meningkatkan kualitas hidup dan memberikan pembelajaran akan proses berpikir kreatif dari penduduk desa tersebut. Dampak langsungnya adalah kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi tersebut dan keinginan untuk membaca informasi. Dampak tidak langsungnya adalah bahwa terjadi proses kreatif dalam mengatasi masalah pekerjaan, pembelajaran, bisnis, dan lain-lain sehingga membangkitkan semangat juang dan semangat hidup untuk masyarakat.
Teknologi telematika memungkinkan masyarakat yang tidak beruntung atau berada pada lokasi terpencil untuk belajar melalui teknologi tele-education. Masalah kesehatan di daerah terpencil dapat diatasi dengan lebih baik melalui teknologi tele-medicine, karena para dokter yang tinggal di kota kecil dapat berkonsultasi dan belajar melalui internet kepada dokter yang lebih berpengalaman atau yang tinggal di kota besar.. Petani dan nelayan dapat memperoleh hasil panen yang lebih baik karena fasilitas ramalan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang terhubungkan dengan teknologi telematika.
Pejabat-pejabat pemerintah dapat meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat melalui fasilitas e-government yang saling terhubung antar satu instansi dengan instansi lainnya sambil meningkatkan efisiensi kerja dan tetap meningkatkan kemampuannya melalui fasilitas distance learning yang diselenggarakan secara berkala khusus untuk meningkatkan profesionalisme pegawai pemerintah.
4. Penanganan Sumber Daya Terbatas
Bidang telekomunikasi dan penyiaran memiliki permasalahan yang menyangkut penggunaan sumber daya terbatas seperti frekuensi dan penomoran telepon. Pengaturan mengenai sumber daya terbatas ini tidak dapat dilepaskan dari kesepakatan maupun pengaturan internasional oleh organisasi telekomunikasi dunia – International Telecommunication Union (ITU) – maupun organisasi penyiaran internasional seperti ABU (Asia Broadcasting Union), dimana Indonesia harus turut mematuhinya agar dapat menjaga keterhubungan dengan jaringan telekomunikasi dan penyiaran internasional.
Agar penanganan sumber daya terbatas tersebut di atas dapat dilakukan secara efisien dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya manfaat masyarakat Indonesia, maka diperlukan penanganan yang sungguh-sungguh oleh sumber daya manusia yang profesional, kompeten dan mempunyai integritas yang baik, terutama dalam iklim kompetisi terbuka Apabila penanganan permasalahannya tidak profesional maka Indonesia akan memubazirkan sumber daya yang terbatas tersebut yang seharusnya bisa dinikmati dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat luas.
Di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi, dalam beberapa tahun mendatang akan muncul permasalahan untuk menyusun electronic numbering,yang akan menyatukan nomor telepon biasa/analog yang jumlahnya terbatas dengan nomor telepon yang berbasis teknologi paket (digital) yang biasa digunakan oleh internet. Permasalahan ini membutuhkan penanganan yang bijaksana, agar Indonesia dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi tersebut secara tepat waktu.
Bila menyangkut perkembangan teknologi yang saling berkonvergensi, teknologi selalu berada lebih dulu daripada regulasi dan kebijakan Pemerintah. Maka perlu visi dari Pemerintah untuk dapat melihat jauh ke depan demi melakukan antisipasi yang diperlukan dalam hal pengaturan dan penegakan peraturannya. Sedangkan permasalahan teknologi informasi perlu menyusun strategi agar Indonesia dapat mensinergikan semua potensi industri di Indonesia agar dapat meningkatkan posisinya di lingkungan internasional.
5. Defisiensi dari keadaan yang sekarang
Dalam kondisi saat ini, persamaan persepsi pejabat pemerintah tentang kegunaan dan manfaat dari tekonologi telematika belum pada posisi yang sama. Demikian pula tentang visi dari pejabat pemerintah mengenai apa yang dapat dilakukan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk mengelola negara dan memberikan layanan publik dengan memanfaatkan teknologi telematika bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Pada kabinet yang sekarang penanganan masalah telekomunikasi berada dibawah naungan Departemen Perhubungan yang sesungguhnya bebannya sudah cukup berat karena menangani masalah perhubungan darat, laut dan udara. Penanganan masalah penyiaran berada di bawah naungan Kementrian Komunikasi dan Informasi, yang tidak mempunyai kewenangan operasional. Sedangkan masalah teknologi informasi, kebijakannya berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi, sedangkan operasionalnya berada di bawah Departemen Perhubungan, serta pembinaan industrinya berada di bawah Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Akibat perbedaan persepsi dan visi pejabat pemerintah tentang teknologi telematika, maka terdapat koordinasi yang kurang harmonis dalam kebijakan pemerintah untuk menetapkan arah pembangunan bangsa melalui institusi-institusi pemerintah. Terlebih lagi kurangnya koordinasi kebijakan pada sektor-sektor yang melibatkan pemanfaatan teknologi telematika ini menimbulkan inefisiensi nasional, karena masing-masing sektor bergerak sendiri tanpa memperhatikan apa yang telah dilakukan sektor lainnya, dan tidak saling memanfaatkan fasilitas yang telah dibangun. Akibatnya adalah kebijakan sektor yang kurang harmonis dengan sektor lainnya. Kebijakan salah satu sektor bisa jadi menghambat kebijakan di sektor lainnya, antara lain karena belum adanya satu visi mengenai pembangunan telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran.
Sejak tahun 1998 telah berdiri Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI), yang sesungguhnya tujuannya adalah untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan telematika, namun kurangnya kepemimpinan dari TKTI, menyebabkan hasil-hasil TKTI tidak dapat diimplementasikan.
6. Pentingnya pembentukan Departemen Telematika
Akibat dari hal-hal di dalam butir 5 di atas serta timbulnya konvergensi teknologi telekomunikasi, teknologi informasi dan multimedia menjadi telematika, Masyarakat mendesak agar Pemerintah terpilih Oleh karena itu sangat mendesak agar Pemerintahan terpilih nanti membentuk Departemen Telematika yang akan menangani masalah telekomunikasi, teknologi informasi dan penyiaran dalam satu Departemen Telematika.
7. Pemisahan fungsi-fungsi pembuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan
Untuk mengatasi masalah kurangnya koordinasi dan untuk meningkatkan efisiensi dalam pembuatan kebijakan agar menghasilkan efisiensi nasional dalam pembangunan bangsa, maka masyarakat mengusulkan sebagai berikut:
1.      Agar Presiden membentuk Komite Pembangunan Ekonomi Nasional Berbasu Telematika.
2.      Komite ini sebaiknya dipimpin oleh Wakil Presiden dan melapor langsung kepada Presiden.
3.      Komite akan merupakan Dewan Pengarah bagi pembuatan kebijakan-kebijakan nasional terutama dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (information economy) dengan memanfaatkan semaksimalnya teknologi telematika. Kebijakan-kebijakan akan dibuat terkoordinasi dan sedapatnya tidak saling tumpang tindih, terutama dalam memanfaatkan teknologi telematika.
4.      Kebijakan dan pengaturan sektor akan tetap menjadi tanggung jawab Menteri dan lembaga pengatur di sektor terkait.
Selain hal di atas, dalam setiap sektor terjadi pergeseran peran pemerintah. Paradigma saat ini adalah terjadi pemisahan fungsi-fungsi pembuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan dalam institusi yang berbeda. Ada beberapa model negara-negara yang dapat dijadikan contoh, namun yang penting peran pembuat kebijakan tetap berada di tangan Pemerintah. Peran sebagai pengatur ada di tangan lembaga regulator dan peran sebagai pengawas atau penegakan hukum dapat berada di tangan pemerintah, regulator ataupun institusi penegakan hukum. Tujuan dari pemisahan fungsi-fungsi di atas adalah demi untuk terjaganya keluhuran dari cita-cita pembangunan bangsa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai keputusan politik dan terdapatnya mekanisme kontrol antar institusi yang menjalankan fungsi yang berbeda tersebut.
Sebagai contoh, apabila terdapat Departemen Informasi dan Telematika yang membawahi industri telematika dan penyiaran, maka fungsi pembuat kebijakan terdapat pada Menteri (Departemen), fungsi pengatur dan pengawasan terdapat pada Komisi Regulasi Telekomunikasi dan Komisi Penyiaran Indonesia
Kehadiran Lembaga Pengatur
Berdasarkan UU Telekomunikasi no. 36 tahun 1999, serta berdasarkan aspirasi masyarakat, maka pada bulan Desember tahun 2003, Pemerintah telah membentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Sedangkan berdasarkan UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, Pemerintah telah membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Baik BRTI maupun KPI dimaksudkan sebagai lembaga pengatur di tengah iklim kompetisi bebas di industri telekomunikasi dan penyiaran, serta bertindak sebagai tempat penyelesaian sengketa yang independen dan beroperasi berdasarkan prinsip transparansi dan keadilan. Baik BRTI dan KPI sesungguhnya diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat luas, oleh karenanya diharapkan dalam proses pengambilan keputusannya selalu mendengarkan dan berdasarkan aspirasi masyarakat.
Untuk bidang telekomunikasi, dalam pelaksanaannya masih ada ketidakpuasan terhadap BRTI yang terbentuk saat ini, dikarenakan tidak semua fungsi dan tugas-tugas yang diharapkan masyarakat dapat dilaksanakan BRTI, dapat dilakukan. Masalah timbul karena harus dimengerti benar perbedaan fungsi BRTI sebagai lembaga pengatur dan fungsi Departemen sebagai pembuat kebijakan. Selain itu, masalah landasan hukum pembentukan BRTI selalu menjadi alasan pemerintah untuk membentuk BRTI yang ideal, sementara industri telekomunikasi berpendapat perlu perubahan signifikan untuk dapat bergerak maju, dan jika perlu seharusnya pengaturan perundang-undangan yang berubah mengikuti perkembangan teknologi dan lingkungan yang semakin kompetitif.
Ketidakpuasan juga terjadi pada KPI yang terbentuk saat ini. Pembagian tugas antara Departemen dan KPI menjadi perdebatan yang harus diselesaikan segera, mengingat bahwa UU Penyiaran tersebut akan berlaku efektif tahun 2004 ini.
Untuk masa yang akan datang, diharapkan spirit perubahan paradigma mengenai peran pemerintah dimengerti benar oleh Pemerintahan yang akan datang. Selain itu fungsi regulator haruslah dilengkapi dengan kewenangan untuk menetapkan sanksi administratif maupun sanksi lain yang lebih mengikat.

KEHADIRAN LEMBAGA PENDUKUNG LAIN

Haruslah dapat dimengerti bahwa institusi lain, seperti Lembaga Informasi Nasional adalah menangani hal-hal yang sifatnya merupakan isi atau konten. Sementara Departemen Telematika yang diinginkan adalah tidak berhubungan sama sekali dengan konten. Masalah konten sudah ada lembaga yang menanganinya, yaitu Dewan Pers, Lembaga Sensor Film, dan lain-lain. Sedangkan Departemen Telematika diharapkan menangani masalah infrastrukturnya.
Kesimpulan
1.      Pemerintah perlu memberikan perhatian yang tinggi kepada permasalahan dan pembangunan Telematika agar teknologi telematika dapat berfungsi dengan lebih baik sebagai infrastruktur pembangunan. Oleh karenanya diperlukan kepemimpinan dari level tertinggi di Pemerintahan agar memperoleh perhatian khusus dalam menangani masalah ini agar Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain.
2.      Pemerintah perlu menekankan pentingnya kebijakan yang saling terkoordinasi dan saling menunjang terutama dalam kebijakan-kebijakan yang memanfaatkan teknologi telematika.
3.      Masyarakat menyambut baik hasil sidang DPR apabila DPR RI memutuskan bahwa telekomunikasi dan informasi termasuk dalam Kementerian Negara Portfolio. Namun ruang lingkup tugasnya perlu diteliti agar dapat menangani antara lain permasalahan-permasalahan seperti yang diutarakan dalam tulisan ini.
4.      Pemerintah harus memahami spirit dan paradigma baru mengenai berubahnya peran Pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Telematika akan bertindak sebagai pembuat kebijakan, sedangkan fungsi pengaturan dan pengawasan akan berada pada institusi Regulator-regulator yang independen untuk bidang telekomunikasi dan penyiaran. Pembagian tugas antara Kementrian dan BRTI serta KPI harus didefinsikan secara jelas dan harus mencerminkan aspirasi masyarakat. Regulator-regulator tersebut yang independen dari para pelaku usaha dan pengaruh politik. Para pegawai di Kementrian ini harus memiliki kewenangan teknis (di bidang telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi) serta staf dan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan dan mengimplementasikan segala peraturan perundang-undangan di bidang ini.
5.      Kementerian Telematika jelas berbeda dengan apa yang dimaksudkan sebagai Departemen Penerangan.
6.      Apabila Pemerintah berniat untuk membentuk Departemen Penerangan, maka hal ini akan membuka trauma dan luka lama yang dialami oleh insan pers dan penyiaran Indonesia. Dapat dipastikan bahwa pembentukan Departemen Penerangan akan menghadapi perlawanan keras dari insan pers dan penyiaran Indonesia, karena hal ini tidak sesuai lagi dengan iklim reformasi dan kebebasan berekspresi yang telah terjadi saat ini.
7.      Selain itu pembentukan Departemen Penerangan akan berpotensi membuat pelaksanaan UU Penyiaran no. 32/2002 bersifat bias dan membingungkan.
8.      Seandainya Pemerintah berniat untuk membentuk semacam instansi yang berfungsi sebagai Hubungan Masyarakat untuk mensosialisasikan berbagai kebijakannya, sebaiknya Pemerintah cukup membuat suatu lembaga atau institusi yang tidak termasuk dalam Portofolio Kementrian Negara. Sebagai contoh Lembaga Informasi Nasional dapat difungsikan sebagai kantor hubungan masyarakat milik pemerintah (Government’s Public Relation) .

Sumber:


0 komentar: