Pemanfaatan Telematika Pada Masyarakat Indonesia
Tulisan selanjutnya bermaksud memberikan penjelasan
ataupun pandangan tentang perlunya Pemerintah memberikan perhatian khusus dalam
menangani bidang telematika, ditinjau dari isu-isu maupun permasalahan penting
yang muncul di bidang telematika ini.
1. Teknologi Telekomunikasi
sebagai infrastruktur pembangunan dan sebagai komoditas?
Tidak dapat dipungkiri bahwa
seperti halnya infrastruktur transportasi, jalan, dan listrik, teknologi
telematika yang merupakan konvergensi dari telekomunikasi, teknologi informasi
dan penyiaran memungkinkan terlaksananya aktivitas perekonomian dan sosial
kemasyarakatan dengan lebih baik. Meski kontribusi sektor telematika dalam
Pendapatan Nasional belum cukup signifikan, hanya sebesar 5.1% utuk tahun 2000
dan 5.8% untuk tahun 2001 namun dengan tersedianya infrastruktur dan layanan
telekomunikasi dan informasi, sesungguhnya membantu aktivitas perekonomian,
pendidikan, pemerintahan dan aktivitas di sektor lain untuk dapat lebih cepat
berputar, lebih efisien berproses dan pada akhirnya akan meningkatkan
pertumbuhan di sektor lain selain telekomunikasi dan informasi.
Salah satu contoh dari dampak
langsung pertumbuhan industri telekomunikasi dan informasi di Indonesia
terdapat di majalah Warta Ekonomi edisi Maret 2001 yang mencatat ada sedikitnya
900 perusahaan dotcom di Indonesia pada saatbooming bisnis e-commerce. Jika rata – rata
setiap perusahaan menyerap 50 tenaga kerja ahli di bidang telematika, maka
45.000 tenaga kerja telah terserap dalam industri dotcom di Indonesia. Di
bidang penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi, serta penyedia layanan
Teknologi Informasi (TI), diperkirakan tidak kurang dari satu juta tenaga kerja
terserap di sektor ini. Sayangnya, menyusul surutnya bisnis e-commerce dan
kurangnya dukungan infrastruktur informasi di Indonesia menjadikan banyak
perusahaan dotcom Indonesia kurang berhasil dibandingkan India atau negara
lain.
Masalah infrastruktur
telekomunikasi dan informasi akan semakin mudah dipahami apabila kita melihat
wilayah Indonesia bagian timur yang dari sisi kondisi geografisnya cukup sulit
untuk dijangkau dan mengakibatkan pembangunannya selalu tertinggal dari wilayah
Indonesia lainnya. Dengan adanya teknologi telematika aliran informasi dapat
diterima oleh penduduk di kawasan Indonesia timur pada saat yang bersamaan
dengan penduduk di daerah lainnya, sehingga tidak terjadi masalah kesenjangan
informasi yang akan berakibat pada kurang kompetitifnya daerah kawasan
Indonesia timur. Demikian juga dalam hal pendidikan, dengan adanya teknologi telematika,
hambatan untuk memperoleh pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar hingga
tingkat tinggi dapat diminimalisir melalui tele-education. Perdagangan dapat
dipercepat transaksinya dan perhitungan bisnis menjadi lebih akurat melalui
e-commerce. Selanjutnya diharapkan pertumbuhan pembangunan akan terjadi dengan
memberdayakan potensi daerah kawasan Indonesia timur itu sendiri.
Pembangunan sektor telekomunikasi
diyakini akan menarik berkembangnya sektor – sektor lain, sebagaimana diyakini
oleh organisasi telekomunikasi dunia, ITU, yang secara konsisten menyatakan
bahwa penambahan investasi di sektor telekomunikasi sebesar 1% akan mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 3%. Hipotesis ini telah terbukti
kebenarannya di negara – negara Jepang, Korea, Kanada, Australia, negara –
negara Eropa, Skandinavia, dan lainnya yang telah memberi perhatian besar pada
sektor telekomunikasi, sehingga selain jumlah pengguna telepon (teledensity)
meningkat, terjadi pula peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dari penjelasan di
atas, jelaslah bahwa Teknologi Telematika sesungguhnya merupakan bagian
dari infrastruktur pembangunan.
Akibat arus globalisasi ekonomi
dan kondisi di banyak negara infrastruktur telematikanya telah tersedia dalam
jumlah yang cukup banyak, maka oleh lingkungan internasional, teknologi
telematika khususnya telekomunikasi telah dianggap sebagai komoditas, dan oleh
karenanya dalam aktivitas transaksinya selalu menggunakan perhitungan bisnis
yang berorientasi profit.
Indonesia yang juga tergabung dalam organisasi WTO, tidak terkecualikan dalam
lingkungan global ini. Saat ini dapat dikatakan hampir tidak ada
perusahaan-perusahaan penyedia jaringan dan layanan telekomunikasi di Indonesia
yang tidak berorientasi profit. Pemerintah sendiri sudah sejak beberapa tahun
terakhir tidak pernah lagi mengalokasikan dananya untuk membangun infrastruktur
telekomunikasi. Tugas pembangunan infrastruktur telekomunikasi dibebankan
kepada swasta atau BUMN. Dari penjelasan ini, maka infrastruktur telekomunikasi
dan informasi telah menjadi komoditas. Dengan memperlakukan infrastruktur
telekomunikasi dan informasi sebagai komoditas, diharapkan pemerintah tidak
perlu terlalu jauh mengatur kompetisi dalam penyediaan komoditas, dan mulai
menyerahkan pengaturannya kepada mekanisme pasar.
Namun harus disadari bahwa belum
seluruh penduduk Indonesia dapat menikmati manfaat dari infrastruktur
telekomunikasi ini, bahkan Indonesia termasuk negara yang memiliki jumlah
infrastruktur telekomunikasi yang rendah di dunia. Meskipun duopoli dalam kompetisi
di sektor telekomunikasi telah diberlakukan, tampaknya aturan pasca duopoli
masih perlu diperbaiki agar lebih banyak masyarakat yang dapat memperoleh
manfaat layanan telematika. Oleh karenanya penanganan masalah telekomunikasi
dalam menyikapi lingkungan global dan kebutuhan penyediaan infrastruktur
domestik perlu dilakukan secara hati-hati dan terencana mengingat berbagai
permasalahan yang terdapat di dalam sektor yang terkonvergensi ini dan
kaitannya dengan keterhubungan infrastruktur luar negeri yang cukup kompleks.
Untuk permasalahan penyiaran,
perlu dipikirkan secara sungguh-sungguh penanganan masalah lembaga penyiaran
publik, masalah kepemilikan silang dan kepemilikan asing dari lembaga penyiaran
swasta dan masalah konten yang memerlukan kejelian dalam menyesuaikannya dengan
hal-hal yang berkaitan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat Indonesia.
2. Teknologi sebagai sarana
pemberantas KKN
Teknologi telematika memungkinkan
terjadinya transparansi. Semua informasi dapat disajikan melalui website atau situs internet, agar dapat
diakses oleh masyarakat luas. Informasi tentang pengadaan barang, seleksi
pemasok, pembelian dan penjualan aset/saham, dan bahkan informasi tentang
pejabat, seleksi pejabat, kekayaan, dan lain-lain dapat diletakkan di situs
internet untuk diketahui oleh masyarakat luas.
Dengan diterapkannya teknologi
telematika dalam upaya pemberantasan KKN, maka diharapkan proses seleksi,
pengadaan maupun proses lain yang rawan terhadap kemungkinan KKN dapat
dilakukan secara elektronik dan oleh karenanya menurunkan ekonomi biaya tinggi.
Selanjutnya diharapkan akan terjadi efisiensi biaya yang berakibat menurunnya
biaya-biaya tak terduga yang harus dibayar oleh masyarakat dan dapat
meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak.
Oleh karena itu jelas, teknologi
telematika memungkinkan terjadinya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat dan
dapat menjadi salah satu andalan untuk memberantas KKN secara cepat dan meluas.
Tentunya perlu komitmen Pemerintah untuk menggunakan teknologi telematika
semaksimal mungkin dalam program pemberantasan KKN ini. Hal ini akan mencakup
seluruh aspek pemerintahan mulai dari penanganan proses seleksi pengadaan,
seleksi direksi BUMN, seleksi pemilihan operator telekomunikasi, seleksi
kepegawaian, penanganan proyek-proyek pemerintah, penanganan data kependudukan,
penanganan masalah pajak, penanganan masalah bea dan cukai, dlsb. Pelaksanaan
pemerintahan yang berdasarkan teknologi telematika bukanlah hal yang mudah,
namun langkah-langkah dasar ke arah itu perlu dilakukan sejak sekarang, dan
perlu komitmen penuh Pemerintah karena Indonesia sudah ketinggalan dari negara
tetangganya.
3. Teknologi Telematika sebagai
sarana kemajuan intelektual bangsa Indonesia
Apabila kita melihat posisi
Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangganya di lingkungan ASEAN
saja, maka Indonesia saat ini tidak pernah menduduki posisi yang memimpin pada
hampir semua sektor pembangunan yang melibatkan teknologi telematika.
Singapura, Malaysia, dan Thailand saat ini sudah bersaing untuk menjadi hub perdagangan, transportasi, jaringan
telekomunikasi dan teknologi informasi, untuk kawasan Asia. Negara-negara
tersebut di atas telah mempunyai visi yang dilengkapi dengan kemampuannya
menguasai teknologi telematika, sehingga akhirnya mampu bersaing untuk dapat
menguasai kawasan Asia. Malaysia sejak tahun 1990 telah menggodok visi
negaranya melalui Malaysia Vision 2020 yang saat ini sudah mulai kelihatan
wujudnya. Demikian juga Singapura dan Thailand.
Indonesia seharusnya juga melihat
bahwa peluang untuk maju dari negara lain adalah terletak pada keinginannya
untuk menguasai teknologi telematika sebagai kunci dari kesuksesannya di bidang
lain. Alasan bahwa rakyat Indonesia masih berkutat pada masalah kemiskinan,
kelaparan dan lapangan pekerjaan seharusnya tidak menjadi penghalang untuk
menyusun strategi bagi penguasaan teknologi telematika dan penguasaan pasar
teknologi telematika pada saat yang bersamaan. Memecahkan masalah-masalah di
atas tidak dapat dilakukan secara sekuensial, tapi harus secara paralel dan
lateral dengan koordinasi yang sangat intensif antar institusi terkait.
Beberapa program pemberdayaan
masyarakat di pedesaan yang menggunakan teknologi telematika akan meningkatkan
kualitas hidup dan memberikan pembelajaran akan proses berpikir kreatif dari
penduduk desa tersebut. Dampak langsungnya adalah kemampuan masyarakat dalam
penguasaan teknologi tersebut dan keinginan untuk membaca informasi. Dampak
tidak langsungnya adalah bahwa terjadi proses kreatif dalam mengatasi masalah
pekerjaan, pembelajaran, bisnis, dan lain-lain sehingga membangkitkan semangat
juang dan semangat hidup untuk masyarakat.
Teknologi telematika memungkinkan
masyarakat yang tidak beruntung atau berada pada lokasi terpencil untuk belajar
melalui teknologi tele-education. Masalah kesehatan di daerah terpencil dapat
diatasi dengan lebih baik melalui teknologi tele-medicine, karena para dokter
yang tinggal di kota kecil dapat berkonsultasi dan belajar melalui internet
kepada dokter yang lebih berpengalaman atau yang tinggal di kota besar.. Petani
dan nelayan dapat memperoleh hasil panen yang lebih baik karena fasilitas
ramalan cuaca dari Badan Meteorologi dan Geofisika yang terhubungkan dengan
teknologi telematika.
Pejabat-pejabat pemerintah dapat
meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat melalui fasilitas e-government yang
saling terhubung antar satu instansi dengan instansi lainnya sambil
meningkatkan efisiensi kerja dan tetap meningkatkan kemampuannya melalui
fasilitas distance learning yang diselenggarakan secara berkala
khusus untuk meningkatkan profesionalisme pegawai pemerintah.
4. Penanganan Sumber Daya
Terbatas
Bidang telekomunikasi dan penyiaran memiliki permasalahan
yang menyangkut penggunaan sumber daya terbatas seperti frekuensi dan penomoran
telepon. Pengaturan mengenai sumber daya terbatas ini tidak dapat dilepaskan
dari kesepakatan maupun pengaturan internasional oleh organisasi telekomunikasi
dunia – International Telecommunication Union (ITU) – maupun organisasi
penyiaran internasional seperti ABU (Asia Broadcasting Union), dimana Indonesia
harus turut mematuhinya agar dapat menjaga keterhubungan dengan jaringan
telekomunikasi dan penyiaran internasional.
Agar penanganan sumber daya terbatas tersebut di atas
dapat dilakukan secara efisien dan dapat digunakan untuk sebesar-besarnya
manfaat masyarakat Indonesia, maka diperlukan penanganan yang sungguh-sungguh
oleh sumber daya manusia yang profesional, kompeten dan mempunyai integritas
yang baik, terutama dalam iklim kompetisi terbuka Apabila penanganan
permasalahannya tidak profesional maka Indonesia akan memubazirkan sumber daya
yang terbatas tersebut yang seharusnya bisa dinikmati dan dimanfaatkan
sepenuhnya oleh masyarakat luas.
Di bidang teknologi informasi dan
telekomunikasi, dalam beberapa tahun mendatang akan muncul permasalahan untuk
menyusun electronic numbering,yang
akan menyatukan nomor telepon biasa/analog yang jumlahnya terbatas dengan nomor
telepon yang berbasis teknologi paket (digital) yang biasa digunakan oleh
internet. Permasalahan ini membutuhkan penanganan yang bijaksana, agar
Indonesia dapat mengakomodir perkembangan teknologi informasi tersebut secara
tepat waktu.
Bila menyangkut perkembangan
teknologi yang saling berkonvergensi, teknologi selalu berada lebih dulu
daripada regulasi dan kebijakan Pemerintah. Maka perlu visi dari Pemerintah
untuk dapat melihat jauh ke depan demi melakukan antisipasi yang diperlukan
dalam hal pengaturan dan penegakan peraturannya. Sedangkan permasalahan
teknologi informasi perlu menyusun strategi agar Indonesia dapat mensinergikan
semua potensi industri di Indonesia agar dapat meningkatkan posisinya di lingkungan
internasional.
5. Defisiensi dari keadaan yang
sekarang
Dalam kondisi saat ini, persamaan
persepsi pejabat pemerintah tentang kegunaan dan manfaat dari tekonologi
telematika belum pada posisi yang sama. Demikian pula tentang visi dari pejabat
pemerintah mengenai apa yang dapat dilakukan pemerintah dalam menjalankan
tugasnya untuk mengelola negara dan memberikan layanan publik dengan
memanfaatkan teknologi telematika bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Pada kabinet yang sekarang
penanganan masalah telekomunikasi berada dibawah naungan Departemen Perhubungan
yang sesungguhnya bebannya sudah cukup berat karena menangani masalah
perhubungan darat, laut dan udara. Penanganan masalah penyiaran berada di bawah
naungan Kementrian Komunikasi dan Informasi, yang tidak mempunyai kewenangan
operasional. Sedangkan masalah teknologi informasi, kebijakannya berada di
bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi, sedangkan operasionalnya berada di
bawah Departemen Perhubungan, serta pembinaan industrinya berada di bawah Departemen
Perindustrian dan Perdagangan.
Akibat perbedaan persepsi dan
visi pejabat pemerintah tentang teknologi telematika, maka terdapat koordinasi
yang kurang harmonis dalam kebijakan pemerintah untuk menetapkan arah
pembangunan bangsa melalui institusi-institusi pemerintah. Terlebih lagi
kurangnya koordinasi kebijakan pada sektor-sektor yang melibatkan pemanfaatan
teknologi telematika ini menimbulkan inefisiensi nasional, karena masing-masing
sektor bergerak sendiri tanpa memperhatikan apa yang telah dilakukan sektor
lainnya, dan tidak saling memanfaatkan fasilitas yang telah dibangun. Akibatnya
adalah kebijakan sektor yang kurang harmonis dengan sektor lainnya. Kebijakan
salah satu sektor bisa jadi menghambat kebijakan di sektor lainnya, antara lain
karena belum adanya satu visi mengenai pembangunan telekomunikasi, teknologi
informasi dan penyiaran.
Sejak tahun 1998 telah berdiri
Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI), yang sesungguhnya tujuannya adalah
untuk mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan telematika,
namun kurangnya kepemimpinan dari TKTI, menyebabkan hasil-hasil TKTI tidak
dapat diimplementasikan.
6. Pentingnya pembentukan
Departemen Telematika
Akibat dari hal-hal di dalam
butir 5 di atas serta timbulnya konvergensi teknologi telekomunikasi, teknologi
informasi dan multimedia menjadi telematika, Masyarakat mendesak agar
Pemerintah terpilih Oleh karena itu sangat mendesak agar Pemerintahan terpilih
nanti membentuk Departemen Telematika yang akan menangani masalah telekomunikasi,
teknologi informasi dan penyiaran dalam satu Departemen Telematika.
7. Pemisahan fungsi-fungsi
pembuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan
Untuk mengatasi masalah kurangnya
koordinasi dan untuk meningkatkan efisiensi dalam pembuatan kebijakan agar menghasilkan
efisiensi nasional dalam pembangunan bangsa, maka masyarakat mengusulkan
sebagai berikut:
1.
Agar Presiden membentuk Komite Pembangunan Ekonomi Nasional
Berbasu Telematika.
2.
Komite ini sebaiknya dipimpin oleh Wakil Presiden dan melapor
langsung kepada Presiden.
3.
Komite akan merupakan Dewan Pengarah bagi pembuatan
kebijakan-kebijakan nasional terutama dalam rangka meningkatkan pertumbuhan
ekonomi (information economy) dengan memanfaatkan semaksimalnya teknologi
telematika. Kebijakan-kebijakan akan dibuat terkoordinasi dan sedapatnya tidak
saling tumpang tindih, terutama dalam memanfaatkan teknologi telematika.
4.
Kebijakan dan pengaturan sektor akan tetap menjadi tanggung
jawab Menteri dan lembaga pengatur di sektor terkait.
Selain hal di atas, dalam setiap
sektor terjadi pergeseran peran pemerintah. Paradigma saat ini adalah terjadi
pemisahan fungsi-fungsi pembuat kebijakan, pengaturan dan pengawasan dalam
institusi yang berbeda. Ada beberapa model negara-negara yang dapat dijadikan
contoh, namun yang penting peran pembuat kebijakan tetap berada di tangan
Pemerintah. Peran sebagai pengatur ada di tangan lembaga regulator dan peran
sebagai pengawas atau penegakan hukum dapat berada di tangan pemerintah,
regulator ataupun institusi penegakan hukum. Tujuan dari pemisahan
fungsi-fungsi di atas adalah demi untuk terjaganya keluhuran dari cita-cita
pembangunan bangsa yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai keputusan
politik dan terdapatnya mekanisme kontrol antar institusi yang menjalankan
fungsi yang berbeda tersebut.
Sebagai contoh, apabila terdapat
Departemen Informasi dan Telematika yang membawahi industri telematika dan
penyiaran, maka fungsi pembuat kebijakan terdapat pada Menteri (Departemen),
fungsi pengatur dan pengawasan terdapat pada Komisi Regulasi Telekomunikasi dan
Komisi Penyiaran Indonesia
Kehadiran Lembaga Pengatur
Berdasarkan UU Telekomunikasi no.
36 tahun 1999, serta berdasarkan aspirasi masyarakat, maka pada bulan Desember
tahun 2003, Pemerintah telah membentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI). Sedangkan berdasarkan UU Penyiaran no. 32 tahun 2002, Pemerintah telah
membentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Baik BRTI maupun KPI dimaksudkan
sebagai lembaga pengatur di tengah iklim kompetisi bebas di industri
telekomunikasi dan penyiaran, serta bertindak sebagai tempat penyelesaian
sengketa yang independen dan beroperasi berdasarkan prinsip transparansi dan
keadilan. Baik BRTI dan KPI sesungguhnya diharapkan dapat memperjuangkan
kepentingan masyarakat luas, oleh karenanya diharapkan dalam proses pengambilan
keputusannya selalu mendengarkan dan berdasarkan aspirasi masyarakat.
Untuk bidang telekomunikasi,
dalam pelaksanaannya masih ada ketidakpuasan terhadap BRTI yang terbentuk saat
ini, dikarenakan tidak semua fungsi dan tugas-tugas yang diharapkan masyarakat
dapat dilaksanakan BRTI, dapat dilakukan. Masalah timbul karena harus
dimengerti benar perbedaan fungsi BRTI sebagai lembaga pengatur dan fungsi
Departemen sebagai pembuat kebijakan. Selain itu, masalah landasan hukum
pembentukan BRTI selalu menjadi alasan pemerintah untuk membentuk BRTI yang
ideal, sementara industri telekomunikasi berpendapat perlu perubahan signifikan
untuk dapat bergerak maju, dan jika perlu seharusnya pengaturan
perundang-undangan yang berubah mengikuti perkembangan teknologi dan lingkungan
yang semakin kompetitif.
Ketidakpuasan juga terjadi pada
KPI yang terbentuk saat ini. Pembagian tugas antara Departemen dan KPI menjadi
perdebatan yang harus diselesaikan segera, mengingat bahwa UU Penyiaran
tersebut akan berlaku efektif tahun 2004 ini.
Untuk masa yang akan datang,
diharapkan spirit perubahan paradigma mengenai peran pemerintah dimengerti
benar oleh Pemerintahan yang akan datang. Selain itu fungsi regulator haruslah
dilengkapi dengan kewenangan untuk menetapkan sanksi administratif maupun
sanksi lain yang lebih mengikat.
KEHADIRAN LEMBAGA PENDUKUNG LAIN
Haruslah dapat dimengerti bahwa
institusi lain, seperti Lembaga Informasi Nasional adalah menangani hal-hal
yang sifatnya merupakan isi atau konten. Sementara Departemen Telematika yang
diinginkan adalah tidak berhubungan sama sekali dengan konten. Masalah konten
sudah ada lembaga yang menanganinya, yaitu Dewan Pers, Lembaga Sensor Film, dan
lain-lain. Sedangkan Departemen Telematika diharapkan menangani masalah
infrastrukturnya.
Kesimpulan
1.
Pemerintah perlu memberikan perhatian yang tinggi kepada
permasalahan dan pembangunan Telematika agar teknologi telematika dapat
berfungsi dengan lebih baik sebagai infrastruktur pembangunan. Oleh karenanya
diperlukan kepemimpinan dari level tertinggi di Pemerintahan agar memperoleh
perhatian khusus dalam menangani masalah ini agar Indonesia dapat mengejar
ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain.
2.
Pemerintah perlu menekankan pentingnya kebijakan yang saling
terkoordinasi dan saling menunjang terutama dalam kebijakan-kebijakan yang
memanfaatkan teknologi telematika.
3.
Masyarakat menyambut baik hasil sidang DPR apabila DPR RI
memutuskan bahwa telekomunikasi dan informasi termasuk dalam Kementerian Negara
Portfolio. Namun ruang lingkup tugasnya perlu diteliti agar dapat menangani
antara lain permasalahan-permasalahan seperti yang diutarakan dalam tulisan
ini.
4.
Pemerintah harus memahami spirit dan paradigma baru mengenai
berubahnya peran Pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Telematika akan
bertindak sebagai pembuat kebijakan, sedangkan fungsi pengaturan dan pengawasan
akan berada pada institusi Regulator-regulator yang independen untuk bidang
telekomunikasi dan penyiaran. Pembagian tugas antara Kementrian dan BRTI serta
KPI harus didefinsikan secara jelas dan harus mencerminkan aspirasi masyarakat.
Regulator-regulator tersebut yang independen dari para pelaku usaha dan
pengaruh politik. Para pegawai di Kementrian ini harus memiliki kewenangan
teknis (di bidang telekomunikasi, penyiaran dan teknologi informasi) serta staf
dan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan dan
mengimplementasikan segala peraturan perundang-undangan di bidang ini.
5.
Kementerian Telematika jelas berbeda dengan apa yang dimaksudkan
sebagai Departemen Penerangan.
6.
Apabila Pemerintah berniat untuk membentuk Departemen
Penerangan, maka hal ini akan membuka trauma dan luka lama yang dialami oleh
insan pers dan penyiaran Indonesia. Dapat dipastikan bahwa pembentukan
Departemen Penerangan akan menghadapi perlawanan keras dari insan pers dan
penyiaran Indonesia, karena hal ini tidak sesuai lagi dengan iklim reformasi
dan kebebasan berekspresi yang telah terjadi saat ini.
7.
Selain itu pembentukan Departemen Penerangan akan berpotensi
membuat pelaksanaan UU Penyiaran no. 32/2002 bersifat bias dan membingungkan.
8.
Seandainya Pemerintah berniat untuk membentuk semacam instansi
yang berfungsi sebagai Hubungan Masyarakat untuk mensosialisasikan berbagai
kebijakannya, sebaiknya Pemerintah cukup membuat suatu lembaga atau institusi
yang tidak termasuk dalam Portofolio Kementrian Negara. Sebagai contoh Lembaga
Informasi Nasional dapat difungsikan sebagai kantor hubungan masyarakat milik
pemerintah (Government’s Public Relation) .
Sumber:
0 komentar: